DAMPAK EKONOMI DARI KEGIATAN PERTAMBANGAN DI KAWASAN PEGUNUNGAN MERATUS TERHADAP MASYARAKAT DESA DI KAWASAN PEGUNUNGAN MERATUS

Oleh: Tito Erland S



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Hutan, hasil tambang, dan laut adalah beberapa contoh kekayaan alam Indonesia yang melimpah.
Kekayaan alam Indonesia tersebar ke berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua. Salah satu kekayaan alam Indonesia terdapat di Kalimantan, tepatnya di Pegunungan Meratus.
Pegunungan meratus adalah kawasan yang sangat luas dan diperkaya oleh kelimpahan sumberdaya alam. Hal tersebut membuat Pegunungan Meratus begitu diminati oleh pihak luar Meratus. Banyak dari pihak luar itu yang menanamkan modalnya baik disektor kehutanan, pertanian, perkebunan, pertambangan, hingga sektor pariwisata. Mereka datang tidak hanya dari Kalimantan Selatan di luar Kawasan Pegunungan Meratus tetapi juga dari provinsi-provinsi lain di Indonesia, bahkan luar negeri seperti China, Malaysia, Kanada, Australia Amerika Serikat dan banyak negara lainnya.
Terdapat Formasi vegetasi utama di Kawasan Pegunungan Meratus yang yang berupa hutan perbukitan campuran Dipterocarpaceae (Hill Mixed Dipterocarps) dan dilanjutkan dengan formasi hutan pegunungan bawah. Kedua formasi vegetasi ini merupakan habitat penting bagi jenis-jenis pohon komersial sebagai bahan baku industri kehutanan.
Tidak sedikit usaha bidang kehutanan yang memiliki konsesi di Kawasan Pegunungan Meratus, walaupun tidak diketahui secara pasti kapan penebangan-penebangan secara besar-besaran dengan menggunakan kapital luar yang besar mulai berjalan. Namun, jika kita menyimak perkembangan politik dan kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia, kemungkinan Pegunuangan Meratus, mulai di rambah kapital besar berkisar di 4 dasawarsa yang telah lalu, yaitu sekitar penghujung tahun 60-an. Lebih lanjut beberapa pemerhati kehutanan menyebutkan pada awal tahun 70-an sebagian besar sub-kegiatan pengusahaan hutan dengan menggunakan chainsaw dan bulldozer sudah dilakukan. Harus diakui bahwa industri kehutanan di Kalimantan Selatan sudah sangat mengakar, namun banyak orang menilai manajemen kehutanan di negara ini tidak beres yang berakibat pada laju pengurangan hutan (deforestasi) hutan di Indonesai umumnya dan Kalimantan Selatan termasuk di dalamnya hutan kawasan Pegunungan Meratus sangat tinggi, terjadinya kelangkaan bahan baku dan terjadinya proses peminggiran masyarakat desa di sekitar hutan dalam hal ini masyarakat adat Dayak Meratus.
Sektor kehutanan berikut segala kebijakan yang menaunginya sudah cukup membebani Pegunungan Meratus dan penghuninya yaitu masyarakat adat Dayak Meratus. Kondisi ini diperparah oleh tirani sektor lain seperti apa yang terjadi di dunia pertambangan Kalimantan Selatan.
Eksplotasi batu bara dan biji besi sangat banyak yang bersentuhan secara langsung dengan hutan Pegunungan Meratus. Saat ini, PT. Adaro Indonesia, dan PT. Arutmin Indonesia berupaya untuk mendapatkan ijin kepada Menteri kehutanan untuk menggarap hutan Pegunungan Meratus, padahal kawasan tersebut merupakan hutan lindung yang semestinya dilarang untuk dibabat karena jantungnya daerah ini terletak dikawasan tersebut. Sedangkan PT. Antang Gunung Meratus berusaha mengalihfungsikan Hutan Tanaman Industri + 900 hektar di kaki Gunung Meratus Kabupaten Tapin/Hulu Sungai Selatan.

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat diuat perumusan masalah yaitu:
Apa dampak dari kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh para investor di kawasan Pegunungan Meratus terhadap masyarakat desa di daerah tersebut?
Siapakah yang diuntungkan dari kegiatan pertambangan yang dilakukan para investor di kawasan Pegunungan Meratus?



BAB II
PEMBAHASAN

Kekayaan Pegunungan Meratus sangatlah melimpah ruah. Di daerah tersebut terdapat sumber daya hayati dan plasma nutfah sampai sumber daya mineral.
Dilatarbelakangi oleh kekayaan alam tersebut, kawasan ini tidak luput dari kepentingan politik dan kekuasaan baik lokal dan nasional maupun internasional. Kawasan ini tidak hanya berfungsi hidrologis dan pengawetan flora, fauna dan ekosistemnya, tetapi juga daya tarik fisik dan biotik (panorama alam) yang dimilikinya.
Mempertimbangkan berbagai fungsi tersebut, hilangnya atau degradasi hutan akibat eksplotasi kayu dan mineralnya yang akan menimbulkan akibat yang serius, maka areal ini diusulkan oleh FAO pada tahun 1981 untuk menjadi kawasan konservasi Cagar Alam Meratus Hulu Barabai (luasan yang lebih besar, yaitu ± 200.000 ha) dalam National Conservation Plan for Indonesia, Vol. V Kalimantan.
Kemudian pada tahun 1997, areal calon kawasan konservasi Meratus Hulu Barabai diusulkan penunjukannya secara definitif sebagai kawasan konservasi dengan fungsi Taman Nasional oleh BKSDA V Banjarbaru (cq. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan) ke Departemen Kehutanan. Usulan ini didukung rekomendasi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan No. 522/00658/Eko tanggal 14 Maret 1998, rekomendasi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Hulu Sungai Selatan No. 522/01992/Eko tanggal 5 November 1997, rekomendasi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Hulu Sungai Tengah No. 522/116/Eko tanggal 5 November 1997 dan rekomendasi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kotabaru No. 500/2153/Eko tanggal 25 Oktober 1997.
Di Kawasan hutan Pegunungtan Meratus, terdapat Sumber Daya Alam berupa batu bara dan biji besi sangat bersentuhan secara langsung dengan kawasan tersebut. Para investor berusaha untuk menggarap Sumber Daya Alam di kawasan in. Sebagai contoh adalah PT. Adaro Indonesia, dan PT. Arutmin Indonesia yang berupaya untuk mendapatkan ijin kepada Menteri kehutanan untuk menggarap hutan Pegunungan Meratus. Padahal kawasan tersebut merupakan hutan lindung yang semestinya dilarang untuk dibabat karena jantungnya daerah ini terletak dikawasan tersebut. Sedangkan PT. Antang Gunung Meratus berusaha mengalihfungsikan Hutan Tanaman Industri + 900 hektar di kaki Gunung Meratus Kabupaten Tapin/Hulu Sungai Selatan.
Investor juga mengeruk keuntungan dari kegiatan pertambangan bijih besi. Saat ini, para Investor telah mengirim biji besi asalan keluar negeri (Tanah Laut telah meng ekspor biji besi + 300.000 ton) ke negeri Cina. Padahal antarabiji besi asalan dengan setengah jadi (fellet) bebanding sekitar 1: 10 atau USD 30:USD 300/ton.
Masalah lain dari dunia pertambangan adalah penambangan tanpa izin (PETI) batubara. PETI menyebabkan kerugian yang besar. Hanya dalam waktu semalam, ratusan truk yang mengangkut batu bara hasil penambangan tanpa izin dari Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, mencapai 40.000 metrik ton. Jumlah itu lima kali lipat dibandingkan dengan produksi batu bara legal yang dikeluarkan perusahaan tambang negara PT Arutmin Indonesia Tambang Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, selama sehari semalam. Padahal, dalam sehari produksi Arutmin di Tambang Satui hanya 9.000 metrik ton. Sedangkan total produksi tambang batu bara illegal seluruh Kalimantan Selatan selama tiga tahun terakhir di Kalsel sekurangnya mencapai 28 juta metrik ton, bahkan Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Selatan menyebutkan angka 31 juta metrik ton. Jumlah itu terutama berasal dari produksi peti dari tiga areal tambang Arutmin, yaitu Tambang Satui yang berada di Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Tambang Batulicin di Tanah Bumbu, dan Tambang Senakin di Kabupaten Kota Baru.
Kegiatan PETI sering diidentikan orang dengan segala macam penambangan yang diusahakan oleh rakyat. Namun dalam hal ini rakyat yang mana juga tidak jelas. Halini dikarenakan kapital yang berlindung dalam sebutan penambang rakyat adalah modal luar juga, sementara rakyat aslinya hanyalah pekerja kasar yang berhadapan langsung dengan aparat dan jika terjadi penertiban rakyat itu pulalah yang menjadi korban.
Perambahan hutan melalui pertambangan membuat hutan kawasan Pegunungan Meratus kian memprihatinkan. Tidak tanggung-tanggung, 229 Kuasa Pertambangan (KP) secara terang-terangan merusak 87.4111 haktare Hutan Lindung Meratus dan menggarap hutan produksi seluas 397.770 hektare. Ke-229 KP tersebut tersebar di enam kabupaten yaitu Tabalong (10 KP), Banjar (12 KP), Hulu Sungai Selatan (5 KP), Tapin (12 KP), Tanah Bumbu (118 KP), dan Kotabaru (72 KP).
Dampak dari adanya kegiatan pertambangan yang dilakukan para investor terhadap masyarakat desa di sekitar kawasan Pegunungan Meratus adalah rusaknya lahan-lahan yang tidak mungkin terpulihkan, debu dan kebisingan akibat truk pengaungkut batu bara, dan penggantian lahan yang semaunya oleh perusahaan baik untuk lokasi tambang maupun lahan untuk pembuatan jalan
Selain itu kegiatan pertambangan tersebut juga berdampak pada matinya sungai-sungai untuk pengairan. Hal ini juga menyebabkan masyarakat desa di sekitar kawasan Pegunungan Meratus susah untuk mendapatkan air bersih. Mereka mau tidak mau terpaksa harus tetap minum air sungai yang tercemar limbah batu bara.
Kerugian ekonomi yang dialami oleh masyarakat desa di kawasan Pegunungan Meratus terlihat jelas pada kasus Batang Banyu. Batang banyu adalah suatu desa di daerah kawasan pertambangan batu bara kecamatan Pengaron Kabupaten Banjar. Dimana adanya aktivitas pertambangan di mulai sejak 1994 baik yang punya KP maupun PETI. Dengan beberapa desa yang lain sangat dirugikan dengan dampak dari keberadaan eksploitasi pertambangan batu bara tersebut. Adapun desa-desa yang terdekat yang ada di sekotar kawasan pertambangan antara lain ; desa mangkauk, desa Sei Lurus, desa Beliangin, desa Lumpangi, desa sungai Pinang, desa Penyiuran dan desa Burakai. Sejak 1994 Perusahaan tambang yang beroperasi di seputar kawasan desa-desa tersebut adalah; PT. Baradatra Satria, CV. Perintis Utama, PT. Maduratna. Sejak tahun 2000, ekslorasi dan eksploitasi dikuasai dan dilakukan PT. Tanjung Alam Jaya hingga sekarang dengan ijin PKP2B nomor 00PB0139 seluas 1.232 Ha dengan kandungan batu bara terukur 51.077.642 ton. Untuk 2005 maka aktivitas eksploitasi yang akan masuk juga adalah PT. TIMAH, PT. Kalimantan Prima Persada dan PT. FAMA. Dengan kehadiran perusahaan PT. Tanjung dan penambang yang masih bertahan Peti. Hanya Menambah dan memperpanjang luka dan kekecewaan perasaan masyarakat yang selalu menjadi penonton dan terkena dampaknya. Gugatan yang dilakukan masyarakat lewat pengadilan ternyata tidak membuahkan hasil, walupun banyak bukti dan fakta penguat gugatan. Dari gugatan pencemaran terhadap lahan pertanian warga tersebut di beri santunan Pemda Kabupaten Banjar. Pada gugatan pertama diberi Pemda Rp 50 juta dan gugatan kedua Rp 70 juta.

Analisis
Masyarakat desa di Kawasan Pegunungan Meratus telah banyak dirugikan dengan adanya kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh para investor. Kerugian yang diteriama oleh masyarakat desa di Kawasan pegunungan Meratus, seperti yang telah disebutkan diatas, adalah susahnya mendapatkan air bersih, dan sebagainya.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal terebut terjadi karena ulah para investor yang lebih mementingkan kepentingan bisnisnya dibandingkan kepentingan masyarakat desa di kawasan Pegunungan Meratus. Para investor telah meraup keuntungan yang banyak dari kegiatan pertambangan yang mereka lakukan di kawasan Pegunungan Meratus. Sementara keadaan sebaliknya justru terjadi pada masyarakat di daerah tersebut.
Terjadinya kerugian yang dialami oleh masyarkat desa di kawasan Pegunungan Meratus juga dikarenakan dengan tidak adanya political will dari pemerintah untuk lebih mementingkan kepentingan masyarakat desa di kawasan Pegunungan Meratus dibandingkan dengan kepentingan para investor.
Pemerintah sebagai pemegang otoritas yang sah, seharusnya dapat mengawasi jalannya kegiatan pertambangan yang dilakukan para investor agar tidak merugikan masyarakat. Pemerintah seharusnya melakukan pengawasan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara lebis serius, melalui dinas-dinas yang terkait, dan memberikan hukuman pada investor yang telah merugikan masyarakat dengan mencabut izin usaha.
Keberpihakan pemerintah terhadap investor juga terlihat dengan adanya pembatasan akses seperti pemungutan hasil hutan oleh masyarakat sekitar hutan. Hal ini di picu dan dilegalkan oleh Undang-Undang Konservasi No 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 21/1970 dan inplementasinya sering dilakukan secara represif dan terstruktur melaui aturan-aturan pengusahaan hutan oleh kapital luar, sehingga segala bentuk udaha yang dilakukan masyarakat berkaitan dengan hutan masuk dalam kategori illegal. Pembatasan akses terhadap hutan ini sering diganti dengan bantuan fisik yang justru mengakibatkan ketergantungan terhadap luar semakin meningkat. Selain itu pembinaan masyarakat sekitar hutan di era 90-an dengan berdasarkan konsep yang salah di mana penguasa menganggap masyarakat sekitar hutan sebagai sumber kerusakan hutan sehingga perlu dikendalikan.
Pemerintah, jika dianalisis secara ekonomi politik, mendapatkan keuntungan dari kegiatan pertambangan yang dilakuakan oleh para investor di kawasan Pegunugan Meratus. Keuntungan yang diperoleh pemerintah adalah berupa pajak.
Namun sangat disayangkan pajak tersebut tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah ini. Masyarakat disekitar tambang lebih banyak mendapatkan ”hirupan udara yang berdebu” dan menunggu ”kiriman banjir” setiap tahunnya. Sungguh sangat disayangkan, kita tidak mengadopsi kebijakan negara para Investor (Australia) yang pembagian hasilnya 90% bagi negara bagian penghasil dan 10% untuk pemerintah pusat.


BAB III
PENUTUP

Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh para investor di kawasan Pegunungan Meratus telah mendatangkan keuntungan bagi para investor dan pemerintah di satu pihak. Di lain pihak kerugian dialami oleh masyarakat desa di kawasan tersebut.
Kerugian yang dialami oleh masyarakat desa di kawasan Pegunungan Meratus antara lain adalah rusaknya lahan-lahan yang tidak mungkin terpulihkan, debu dan kebisingan akibat truk pengaungkut batu bara, dan penggantian lahan yang semaunya oleh perusahaan baik untuk lokasi tambang maupun lahan untuk pembuatan jalan.
Pemerintah yang seharusnya lebih mendahulukan kepentingan rakyatnya, justru bertindak sebaliknya. Pemerintah justru lebih berpihak pada kepentingan para investor. Akibatnya masyarakat desa di kawasan tersebut semakin terpinggirkan secara ekonomi.


Referensi:

Tamliha, Syaifullah. Ekonomi Politik Pengelolaan SDA di Hutan Pegunungan Meratus, Http://www. YCHI.org, diakses tanggal 27 Oktober 2007.

Http://www.Koko06.multiply.com/journal/item/, diakses tanggal 27 Oktober 2007



Note: tulisan ini dibuat tahun 2007


0 komentar: