Kebangsaan

Oleh: Tito Erland S

Negara Romawi atau orang juga bisa menyebutnya dengan sebutan Negara Karel Yang Agung, merupakan negara yang produktif untuk mencetak filsof kaliber dunia. Zeno, Epicurus, Lucretius adalah sedikit nama dari sekian banyak filsof yang berasal dari negara yang pernah dipimpin oleh Julius Ceasar itu.

Namun mungkin benar adanya, bahwa tidak ada yang abadi di dunia (material) ini kecuali mungkin perubahan itu sendiri. Negara yang berisikan manusia-manusia yang bijaksana tersebut pada akhirnya pecah menjadi tercerai berai.

Keindahan dan keunikan cerita sejarah tidaklah berhenti sampai disitu. Setelah pecahnya negara Romawi, masyarakat di dunia disajikan dengan tontonan peristiwa terbaginya Eropa Barat dalam bangsa-bangsa. Layaknya hukum rimba, sebagian bangsa tersebut berusaha untuk menghegemoni bangsa yang lainnya.

Terbentuknya bangsa setelah perpecahan Negara Romawi sesungguhnya merupakan cerita yang menarik untuk disimak. Bahkan mungkin cerita tersebut dapat dijadikan dongeng pengantar tidur. Namun sebenarnya apakah bangsa itu? Menurut Ernest Renan (1994) bangsa adalah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi. Ia mengandung arti adanya sesuatu waktu yang lampau, tetapi ia terasa dalam waktu yang sekarang sebagai suatu kenyataan yang dapat dipegang yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan secara tegas untuk melanjutkan hidup bersama.

Di negeri yang melimpah akan sumber daya alam ini, pengakuan bahwa kita adalah satu bangsa telah dilakukan saat terjadi kongres pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Saat itu dengan semangat yang menyala-nyala para pemuda-pemudi mengucapkan sumpah pemuda yang mengakui bahwa kita adalah satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.

Rasa kebangsaan kita semakin diperkuat dengan adanya perjuangan merebut kemerdekaan. Sudah banyak nyawa yang berguguran demi memperjuangkan harkat dan martabat bangsa ini dalam merebut kemerdekaan. Rasa kebangsaan yang semakin menyala di dada bangsa Indonesia dipertegas dengan peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi yang dibacakan oleh Sukarno itu, tidak hanya memperkuat rasa kebangsaan kita, tapi juga sekaligus menandakan bahwa kita adalah bangsa yang merdeka.

Namun seiring berjalannya waktu, rasa kebangsaan kita diuji dengan adanya gerakan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada banyak pandangan untuk melihat fenomena tersebut. Sebagian dengan gampangnya menjustifikasi bahwa merekalah (gerakan separatis) yang bersalah. Namun saya berpendapat sebagian lainnya berpikir lebih bijaksana, bahwa salah satu faktor munculnya fenomena gerakan separatis (seperti misalnya dahulu ada kasus GAM) merupakan akibat dari sebab adanya pembagian keuangan yang tidak merata antara pusat dan daerah.

Disini kita mungkin harus setuju bahwa pemerintah perlu melakukan upaya keras untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti misalnya pemberantasan korupsi, penangkapan para pembalak liar, penghapusan hutang luar negeri, kebijakan ekonomi yang pro rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan mungkin melakukan land reform. Disini diperlukan political will dari pemerintah untuk mensejahterakan rakyat. Dalam artian diperlukan pemerintah yang benar-benar pro rakyat, bukan pemerintah yang hanya berpihak pada kepentingan pemodal.

Upaya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia menjadi penting untuk menghindari kecemburuan sosial yang dapat berujung pada disintegrasi. Dengan begitu semangat kebangsaan tidak mudah menjadi pudar.

Referensi:

Renan, Ernest. 1994, Apakah Bangsa itu?, Penerbit Alumni, Bandung.



0 komentar: