Negara dan Masyarakat Sipil

Review Artikel

Oleh: Tito Erland S

Judul Artikel : Mimpi Perubahan Dan Cita Ideal Masyarakat Madani

Penulis : Adie Usman Musa

Tahun Penulisan : 2006

Diekses : Tanggal 31 Oktober 2006

Menurut Adie Usman Musa, semua orang di dunia ini menginginkan perubahan kearah yang lebih baik, dan perubahan itu sendiri adalah keiniscayaaan sejarah. Proses perubahan sosial berjalan dinamis dan dialektis, tidak determenistik. Perubahan sosial digambarkan oleh Adie Usman Musa terjadi karena sebuah situasi yang membuat masyarakat merasa tertindas, dengan indikatornya adalah adanya nuansa ketidakadilan, ketimpangan, perbudakan, penindasan dan lain sebagainya.

Dalam perubahan sosial, terdapat faktor-faktor penting yang mengiringi perubahan itu. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh seorang ilmuwan sosial Islam yaitu Ausaf Ali. Menurutnya ada tiga faktor yang mengriringi terjadinya perubahan. Pertama, muculnya kritik terhadap realitas dan praktek sosial yang ada, yang dilakukan oleh merekayang cenderung terhadap tatanan baru. Kedua, adanya paradigma baru nilai-nilai, norma dan sistem penjelas yang berbeda. Ketiga, partisipasi sosial yang dipilih oleh mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentranformasikan masyarakatnya.

Dalam proses perubahan sosial terdapat berbagai kemungkinan yang sulit diperkirakan sebelumnya. Suatu perubahan sosial melibatkan realitas sosial yang dikritik, yaitu yang terletak pada perbedaan cara pendang tentang nilai-nilai engan realitas sosial yang berlangsung. Selain itu hal tersebut disebabkan maraknya kesenjangan, ketidakadilan, bahkan ketertindasan dalam masyarakat itu sendiri.

Perubahan sosial, merupakan dinamika menuju keadaan masyarakat untuk menuju arah yang dainggap lebih baik. Di dalam perubahan sosial terdapat dialektika nilai, kepentingan, dan visi etis masyarkat terhadap praktek sosial. Adanay suatu kritik merupakan sebuah respon terhadap praktek sosial yang ada, dan terutama sekali terhadap suprastruktur sosial masyarakat yang timpang.

Namun dalam realitasnya, perubahn sosial tidak selamanya mengahasilkan keadaan yang lebih baik. Terkadang perubahan sosial justru dapat melahirkan praktek-praktek sosial dan politik ang anarkis, fasisi, otoriter, dan melanggengkan ketidakadilan. Untuk itu masyarakat harus mencermati proses perubahan sosial yang terjadi agar bisa membawa perubahan ke arah yang diinginkan, termasuk menuju terciptanya civil society ataupun masyarkat madani.

Ide tentang civil society merupakan produk sejarah dari masyarakat modern. Civil society muncul bersamaan dengan proses moderenisasi, yaitu pada saat perubahan dari masyarkat feodal agraris menjadi masyarkat industrialis kapitalis.

Di dalam masyarkat muslim civil society diterjemahkan ke dalam masyarkat madani. Masyarkat madani merupakan sebuah gambaran ideal tentang cita praktek kehidupan bersama. Masyarakat madani dipenuhi oleh berbagai penghampiran praksis kehidupan masyarakat. Artinya, masyarakat madani harus mampu menjawab berbagai kebutuhan masyarakat.

Konsep masyarakat madani memberikan kemungkinan bagi masyarakat utnuk melihat hal-hal yang bersifat ke-Indonesiaan. Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang berbhineka. Keragaman ini merupakan sebuah potensi yang dapat digunakan untuk membangun kapasitas masyarakat madani di Indonesia. Namun kemajemukan yang ada juga menyimpan potensi konflik yang dapat meledak setiap saat.

Wacana masyarkat madani yang berkembang saat ini bukanlah sekadar sebuah wacana yang hanya menawarkan sebuah keindahan hidup bermasyarakat dalam dimensi lokal, dalam batas-batas teritorial sebuah negara, tetapi lebih dari itu, merupakan sebuah wacana yang memberikan lagitimasi bagi ruang-ruang liberalisasi dan globalisasi. Liberalisasi dan globalisasi, merupakan sebuah dinamika perubahan dunia seiring dengna perkembangan teknologi informasi yang luar biasa.

Globalisai dalam pemaknaannya dapat dilihat dari berbagai dimensi yaitu dimensi ekonomi politik, teknologi, budaya, dan keagamaan,. Menurut Anthony Gidens, globalisasi dapat memberikan efek jarak jauh, dimana suatu kejadian di suatu tempat dapat mempengaruhi tempat lain.

Globalisasi yang terjadi di era sekarang ini mempunyai ekses yang negative. Diantaranya adalah terjadinya pemmusatan ekonomi di tangan segelintir orang. Selain itu adanya globalisasi juga menimbulkan beragam konflik, yang telah memakan korban kemanusiaan yang begitu banyak.

Terjadinya konflik menurut Hutington karena globalisasi membuka ruang dan sekat-sekat antar budaya dan peradaban, sehingga saling pengaruh anatar peradaban tersebut dapat memunculkan konflik di masyarakat. Hutington menilai bahwa konflik yang terjadi lebih dikarenakan isu yang bernuansa SARA. Sedangkan menurut Kenichi Ohmae konflik yang terjadi dapat juga terjadi pada peradaban yang sama. Ia mencontohkan adanya konflik antara masyarkat Protestan dan Katolik di Irlandia Utara.

Lalu dimanakah posisi konsepsi masyarakat madani dalam kondisi tersebut? Menurut Adie Usman Musa, untuk itu diperlukan konsep masyarkat madani secara substantive yaitu masyarkat yang mengharagai pluralitas, perbedaan dan saling percaya antar masyarakat. Dengan demikian masyarakat madani atau civil society dapat menemukan bentuk idealnya dalam masyarakat dakam tataran lokal maupun global. Masyarakat madani berarti juga masyarkat yang mempunyai toleransi dan membuka diri terhadap berbagai pandangan yang berbeda antar mereka di berbagai belahan dunia.

Namun makna substantif dari masyarakat madani membuat kecurigaan sebagian masyarakat akan adanya sebuah hegemoni dari ideologi tunggal leiberalisme-kapitalisme. Hal tersebut berkaitan dengan runtuhnya Uni Sovyet dan sekaligus menandai ideologi yang mengiringinya. Setelah runtuhnya ideologi di luar liberalisme-kapitalisme terdapat kecenderungan yang memperlihatkan sebuah dinamika dunia yang kian seragam dalam moderenisasi. Serbuan moderinisasi dan globalisasi juga memunculkan berbagai akibat dalam mesyarkat. Contohnya adalah wacan terorisme yang belakangan ramai diidentikan dengan dunia Islam, yang padahal permasalahan tersebut juga berakar dari sebuah tatanan dunia yang timpang dan tidak adil.

Dalam interpretasi Adie Usma Musa, kesenjangan dan ketidakadilan dalam perspektif Islam, merupakan sebuah keniscayaan. Dalam arti, kesenjangan dan ketidakadilan merupakan sebuah realitas yang memang ada. Ketimpangan dan ketidak samaan sosial (social inequality) terjadi di hampir semua komunitas masyarakat dunia. Ketidaksamaan sosial ini dapat melahirkan polarisasi sosial yang melahirkan kasus-kasus kemisikinan, kesenjangan, ketidakadilan, penindasan bahkan perbudakan. Ketidaksamaan sosial ini dikonsepsikan dengan membaginya dalam istilah ‘kelas sosial’. Adie Usman Musa mencontohkan masyarakat yang dahulu terbagi dalam dua kelas sosial, yakni kelas bangsawan dan kelas budak. Selain itu ia juga mencontohkan pembagian kelas pada masyarakat Eropa abad ke 17 dimana terdapat tiga kelas dalam masyarakat yaitu kelas pendeta, kelas bangsawan, dan kelas borjuis. Sementara dalam perspektif Marxis terdapat dua pembagian kelas dalam masyarakat yaitu kelas borjuis dan kelas proletar.

Kembali ke perspektif Islam, Kuntowijoyo mencatat bahwa Islam mengakui adanya deferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Dalam kitab suci agama Islam fenomena ketidaksamaaan sosial ini dianggap sebagai sunnatullah, sebagai realitas empiris yang ditakdirkan kepada dunia manusia.

Namun menurut Adie Usman Musa, hal ini tidak adapat diartikan bahwa Al Qur’an mentoleransi social inequality. Al Qur’an hanya mengakui adanya social inequality namun tidak mentoleransinya. Islam malah memiliki cita-cita sosial untuk menegakan egalitarianisme (kesetaraan). Keadaan sosial yang diliputi oleh fenomena diferensiasi dan polarisasi sosial, dipandang sebagai temapt setiap muslim akan memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya. Islam juga menghendaki adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan secara adil bagi seluruh lapisan sosial yang ada dalam masyarakat. Selain itu, Islam juga mengedepankan peran untuk mengutamakan dan membela golongan masyarakat yang tertindas dan lemah seperti kaum dhu’afa dan mustadh’afin.

Namun bukanlah hal yang mudah mewujudkan keadaan tersebut. Hal ini berkaitan dengan kondisi masyarakat yang dimanjakan oleh adanya arus materialisme. Menurut Adie Usman Musa proses ini memang harus dimulai dari trnasformasi nilai-nilai Islam, baru kemudian dilakukan lompatan,-lompatan dalam dataran praksis. Untuk terciptanya transformasi nila-nilai Islam, Adie Usman Musa memakai konsep dari Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif. Setidaknya ada dua cara begaimana nilai-nilai normatif ini menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai normatif ini diaktulisasikan langsung dalam perilaku individu maupun masyarakat. Contohnya adalah seruan praktis Al Qur’an untuk menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan kedalam perilaku individu. Kedua, mentranformasikan niai-nilai normatif ini menjadi sebuah teori sebelum diaktulisasikan ke dalam perilaku. Menurut Adie Usman Musa, cara yang kedua ini lebih relevan pada saat sekarang ini untuk melakukan restorasi terhadap masyarkat Islam dalam konteks masyarakat industri. Metode tranformasi nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktulisasikan dalam wujud perilaku, membutuhkan beberapa fase formulasi yaitu fase teologi, filsafat sosial, teori sosial, dan perubahan sosial.

Sementara Syafi’i Ma’arif berpandangan bahwa tranformasi nilai-nilai Islam ke dalam perilaku individu maupun masyarakat harus dilakukan dengan membongkar teologi klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan masalah-masalah pemberdayaan masyarakat karena terlalu intelektual spekulatif. Pemberdayaan masyarakat hanya mungkin dilaksanakan oleh mereka yang berdaya secara politik, ekonomi, sosial, iptek dan budaya.

Adie Usman Musa menilai bahwa agama hamper sama dengan perundang-undangan, atau doktrin yang menjadi azas negara. Bedanya, jika undang-undang atau doktrin azas negara dibuat oleh manusia, agama diyakini bukan buatan manusia, melainkan dari sesuatu yang transenden, yakni Tuhan. Namun menurutnya, dengan meminjam istilah Clifford Geertz, agama tidaklah sesuatu yang otonom, melainkan berada dalam suatu realitas obyektif yang secara signifikan mempengaruhi, baik interpretasi maupun aktualisasi dari agama tersebut. Memang seharusnya agama tampil sebgai kritik kebudayaan. Tetapi dalam realitanya anatara agama dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain. Memisahkan agama atau mengkontraskan agama dengan budaya suatu masyarakat, membuat agama hanya akan tampil menjadi doktrin anti kebudayaan.

Menurut Adie Usman Musa, agama secara ideal harus ditempatkan sebagai fenomena dalam keragaman budaya (multikulturalisme). Dalam arti, ketika agama mencoba menterjemahkan sebuah realitas sosial, maka ia pun harus mempu secara sinergis membangun kebersamaan dengan paham lain yang ada dalam realitas sosial tersebut. Namun tetap saja, adanya suatu perbedaan psikologis dalam pemeluk agama dan keragaman interpretasi agama, memungkinkan agama menjadi potensi konflik yang membhayakan integrasi sosial masyarakat.

Lalu apa yang dipertanyakan oleh Adie Usman Musa adalah bagaimanakah nasib masyarakat madani di masa depan ditengah-tengah konflik multikural yang muncul saat ini? Ia berasusmi, untuk itu dibutuhkan sebuah kerja keras untuk merumuskan visi bersama masyarkat global dalam menghadapi berbgai kemungkinan begi terjadinya disintegrasi sosial. Untuk itu ia memakai konsepsi dari Hans Kung yang mengajukan sebuahh visi bersama. Hans Kung berpendapat bahwa tidak akan ada tatanan baru tanpa sebuah etiak dunia yang baru yaitu sebuah etika global. Etika global adlah sebuah konsesusu dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan dogmatis, dan yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum non beriman (atheis).

Kembali kepada wacana masyarakat madani, menurut Adie Usman Musa, masyarakat madani hanya sebuah pendekatan saja dalam proses mesyarkat baru yang berkeadilan, toleran, serta mempunyai rasa saling percaya yang tinggi. Proses menuju masyarakat ideal lebih penting diwujudkan, dibandingkan sekedar menjadikan wacana masyarakat madani sebagai wacana yang tidak membumi, dan tidak mampu menjawab kebutuhan praksis masyarakat yang tertindas.

Menurutnya, masyarakat madani adalah sebuah konsepsi yang memberikan ruang gerak bagi masyarakat untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. Masyarkat madani membuka ruang dan sekat-sekat perbedaan, membangun kesepahaman, menghargai pluraliats dan cara pandang antar sesame dan antar entitas masyarkat, serta membuka kemungkinan akan terjadinya dialog antar budaya, sehingga rasa percaya antar masyarakat sebagai modal sosial yang sangat penting dalam terjadinya integrasi sosial, dapat terwujud.

Tinjauan Kritis

Ketakutan sebagian masyarakat terhadap konsep civil society sebagai sebuah upaya hegemoni dari ideologi liberalisme-kapitalisme dapat dipahami. Hal ini dikarenakan, dalam perspektif leiberalisme, berkembangnya masyarakat sipil di Barat tidak bisa dilepaskan dari kemunculan ideologi liberalisme. Ideologi liberalisme mendorong terhadap kuatnya dominasi prinsip kebebasan dalam kehidupan masyarkat Barat skeligus mendorong terjadinya sistem politik demokrasi.

Ketakutan akan adanya hegemoni dari ideologi liberalisme-kapitalisme semakin berlasan, karena dalam perspektif liberalisme, civil society dapat memungkinkan terjadinya liberalisasi dalam bidang ekonomi. Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sebagian masyarkat di negara-negara dunia ketiga yang notabene kalah bersaing dengan negara-negara maju dalam bidang ekonomi di era globalisasi.

Namun konsep civil society maupun masyarakat madani tentunya mempunyai aspek yang positif terutama dalam bidang politik. Seperti yang dikatakan Adie Usman Musa bahwa konsep masyarkat madani membuka ruang dan sekat-sekat perbedaan, membangun kesepahaman, menghargai pluralitas dan cara pandang antar sesame dan antar entitas masyarkat. Selain itu konsep civil society juga memungkinkan masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya pemerintahan. Hal ini tentu saja berguna bagi berkembangnya demokrasi politik.[]

Referensi:

Hariyadi dan Rofik, Ahmad. Hand Out (Bahan Pegangan) Mata Kuliah Negara dan Masyarakat Sipil. Purwokerto

Note: Tulisan ini dibuat tahun 2006.



2 komentar:

-ninda- mengatakan...

Wah.. blog nya serius banget... isinya tulisannya menambah pengetahuan saya, hehehe...... :P

Unknown mengatakan...

Isinya gak jelas... cari perspektif yg bagus lah